calang

Dulu, sebelum tsunami, tepatnya di bulan Agustus 2004. Saya pernah juga mengunjungi kota yang menjadi ibukota Kabupaten Aceh Jaya ini. Saat itu kota ini masih berbenah, karena baru dua tahun menjadi ibukota kabupaten, karena sebelumnya berada di wilayah administrasi Kabupaten Aceh Barat.

Saat Agustus 2004 lalu, saya ada di sini karena teman-teman dari Mapala Leuser, sedang merintis jalur untuk panjat tebing. Saya sih bukan ingin menceritakan proses pemanjatan mereka. Kata 'mereka' karena saya tak ikut memanjat tebing saat itu, maklum tak miliki kepintaran di sisi itu. Namun, saat itu suasana daerah yang langsung berbatasan dengan laut, Samudra Indonesia, dan perbukitan kecil ini, memiliki hawa yang adem. Ntah, karena saat itu bulan Agustus, di saat musim hujan akan datang. Walau berada di wilayah pesisir, daerah ini bercuaca enak dinikmati.


Saat ini justru seperti umumnya wilayah pesisir Aceh lainnya. Calang saat ini menjadi lebih panas. Lagi-lagi ini terjadi setelah tsunami melanda negeri ini. Seperti tulisan lalu, belum dipastikan bahwa ada hubungan antara panas dan tsunami. Atau saya belum tahu beritanya, :p.

Calang, sempat rata dengan tanah saat itu. Tak ada bangunan yang masih berdiri, kecuali satu, rumah seorang juragan kapal nelayan, yang mereka panggil Nek Beng. Setelah itu kota ini menjadi gersang dan hiruk dengan pengungsi yang memenuhi barak. Konsentrasi pekerja kemanusiaan dari seluruh dunia juga menujukan mata ke wilayah ini, akibat parahnya dampak tsunami di kota ini dan sekitarnya.

Di saat sedang dan akan terus berbenah. Juga di saat cuaca kota juga sudah semakin panas. Calang tetap Calang, kota yang masih punya banyak kehidupan. Masyarakat seakan lupa bila enam tahun lalu terjadi hal yang di luar jangkauan kita sebagai makhluk Tuhan.

a

0 Response to "calang"