aceh dan gajah (bagian I)

Berita di koran hari ini, kemarin, dan mungkin juga esok hari, lagi-lagi mewartakan gajah. Kalau bicara warta gajah di koran, pastilah isinya konflik gajah dengan manusia. Tak beda dengan ini hari juga mewartakan konflik gajah dan manusia. Tak tahulah siapa yang salah di sini. Salah manusia atau salah gajahnya. Kalau lihat dari sudut pandang manusia yang menjadi korban, tak mungkinlah manusia itu yang salah. Manusia terus menjadi korban. Malah manusia ada yang merenggang nyawanya akibat diserang dan diamuk kawanan haiwan yang bernama latin Elephas maximus. Kalau kita melihat dari sisi gajah, tak mungkin juga dia yang salah. Gajah punya otak, namun tak bisa digunakan untuk berfikir. Dia hanya punya instinc atau naluri hewaniah. Namun kalau gajah bisa berfikir, apakah akibatnya akan lebih runyam atau mungkin lebih baik?. Wallahu Alam.

Melihat berita konflik gajah manusia dan memikirkannya, tentu saja yang pusing adalah pihak pemerintah(siapa yang berani bilang mereka tak pusing?) seperti BKSDA. Bukan pihak penguasa tentunya(karena mereka hanya pusing bila kekuasaan telah habis masanya). Kenapa lembaga itu pusing. Jawabannya sederhana, membantu manusiakah atau membantu gajah. Membantu manusia, sudah pasti perlu, dan itu wajib bagi manusia lain(semua agama mengajarkan itu). Mana tahan kita melihat manusia yang tertindas tanpa sebab, apalagi oleh seekor gajah yang tak punya pikir. Nah, membantu gajah? Bagi mereka ini perlu juga. Alasan untuk melestarikan dan menjaga populasi gajah adalah sebabnya. Untuk inilah lembaga ini berdiri. Berdosa bagi mereka bila negeri yang dahulu kaya akan gajah dan sempat menjadi simbol kerajaan menjadi tak ada gajah sama sekali atau punah. Mengurus gajah sekarang adalah sebuah dilema atau ibarat memakan buah simalakama.



Elephas maximus sumatranensis adalah subspesies yang hidup di Aceh sekarang ini. Memang dibandingkan dengan kerabat-kerabatnya di Asia dia lebih kecil. Apalagi bila dibandingkan dengan keluarga Luxondata atau gajah afrika. Namun demikian walau mempunyai tubuh kecil, di Aceh mereka telah menorehkan sejarah yang besar. Gajah merupakan hewan yang dihormati dan disegani. Gajah dalam kultur Aceh mempunyai kasta sesuai denga fungsi dan tabiatnya. Ada gajah yang dijuluki gajah baik dan ada juga gajah yang liar dan bersifat nakal. Apakah saat ini rakyat Aceh tak lagi mengakui gajah sebagai makhluk tehormat sehingga dengan leluasa gajah berkunjung ke kampung dan merusak apa saja di depannya. Wallahu Alam juga, karena gajah juga tak punya pikir.

Konflik gajah dan manusia sepertinya tak akan pernah berakhir. Selama penanganan gajah liar hanya diporsikan untuk untuk ditangkap dan dilatih tidaklah akan menyelesaikan inti masalah.Memang benar untuk sementara ini penanganan terhadap gajah liar adalah dengan cara diburu dan ditangkap oleh pawang dengan bantuan gajah yang telah terlatih. Gajah terlatih ini juga merupakan eks gajah liar, namun telah lama menjalani latihan ketangkasan di tempat yang dinamai Pusat Latihan Gajah(PLG). Gajah liar yang tertangkap, seperti pendahulunya, akan juga dilatih oleh pawang atau mahout agar bisa menjadi gajah jinak. Setelah dia jinak dia akan mengemban tugas untuk memberi jalan pada pawang dan mahout untuk menangkap teman-temannya yang masih dikategorikan liar. Itulah tugas utama bekas gajah liar. Beruntung buat gajah, bila tiba saatnya agustusan, khusus saat pawai 17 Agustus-an, atau hari-hari besar lainnya, sang gajah bisa diajak pawai berkeliling kota dan ditonton khalayak ramai. Bila ada momen lain, gajah bisa menjadi entertainer amatiran untuk menghibur rakyat dengan bermain bola antar sesamanya. Ini akan terus menjadi siklus dan berdaur dengan sendirinya bila ada gangguan gajah liar di kawasan tertentu. Dengan kalimat lain, gajah dapat dilatih bila konflik gajah manusia terjadi.

Nah, mengapa tak ada sistem penanganan untuk gajah liar sebelum dia atau mereka turun ke wilayah pemukiman manusia. Kenapa setelah ada korban manusia atau korban ekonomi akibat lahan peranian dan perkebunan rusak, barulah mata kita terbuka lebar dan telinga kita mengembang hingga hati kita sadar kalau gajah telah turun kampung lagi. Akibatnya ada sebagian kelompok yang menghunus parang, menempa besi tumpul hingga menjadi tajam, tombak, dan alat tajam lainnya mencoba menghalau gajah bila mereka turun kampung(pengalaman masyarakat Teunom mengusir gajah, [penuturan dari Alm Keuchik Hasbi). Beruntung bila gajah dapat diusir, bila tidak? Bisa-bisa gading mereka yang ketusuk ke badan kita. Belalai mereka yang membanting tubuh kita hingga tulang menjadi remuk. Kaki yang menopang berat beberapa ton yang menginjak sehingga isi perut kita keluar, Naudzubillah. Apakah ini akan terus terjadi?



Klik di sini...