Hemat BBM dan Bersepeda

sebuah artikel lama yang sudah diposting di harian Aceh Independen tanggal 5 Juni 2008

sebuah sikap untuk berhemat dan refkleksi hari lingkungan hidup 5 Juni

Malam 23 Mei 2008 yang lalu, penentuan keputusan harga bahan bakar yang bahan bakunya berasal dari minyak bumi, atau masyarakat lebih familiar menyebutnya dengan sebutan BBM(bahan bakar minyak), akhirnya diumumkan. Seorang menteri dari kabinet SBY, Purnomo Yusgiantoro, menjadi juru bicara pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM. Sebelum keputusan diambil, pemerintah telah mensosialisasikan lewat media secara tak resmi bahwa harga BBM akan naik, menyusul kenaikan harga minyak dunia yang telah melebihi target APBN. Analisa tim ekonomi pemerintah dalam APBN, harga minyak dunia tak akan menyentuh angka 100 per barel dalam mata uang dollar amerika. Namun sayang, angka telah melampaui 130 dollar per barel. Pemerintah mengemukakan alasannya, bila hal ini terjadi maka APBN akan jeblok dan akan terjadi kenaikan subsidi. Salah satu cara tentu saja dengan menaikkan harga jual BBM kepada masyarakat Nusantara. Namun sekali lagi sayang, selama masa persiapan kenaikan harga BBM, pemerintah berdalih tenggang waktu ini untuk memverifikasi proses Bantuan Langsung Tunai (BLT), di media massa kita disuguhi berita demonstrasi menolak kenaikan BBM. Demonstrasi yang sebagian besar digalang rekan mahasiswa banyak memakan korban fisik, termasuk pada saat tanggal 24 Mei 2008 dini hari, salah satu universitas swasta di ibukota terlibat bentrok dengan pihak kepolisian. Menariknya pada masa itu tak hanya mahasiswa yang turun ke jalan menyampaikan aspirasi rakyat Nusantara, namun tokoh seperti Rizal Ramli, mantan menteri, juga turun berunjuk rasa.


Tak hanya itu kita juga disuguhi “lawakan politik”, bagaimana tidak, banyak lawan politik SBY menentang keputusan pemerintah dengan dalil yang berbagai macam yang malah tidak menyejukkan hati kita. Apapun ceritanya, saat ini kita sudah menikmati harga premium naik 33 persen dari harga lalu. Minyak diesel dari 4.300 rupiah naik 28 persen menjadi 5.500. Begitu juga dengan minyak tanah naik 500 rupiah dari harga sebelumnya 2000 rupiah. Malahan sebagian besar kita menikmati kenaikan harga jauh beberapa hari sebelum Menteri ESDM mengumumkan resmi di Televisi.
Tulisan ini hanya sebagai opini untuk berdiskusi dengan publik, apa yang harus atau yang akan kita lakukan sehari-hari dalam menyikapi kenaikan BBM. Walau kita bersitegang dengan opini pemerintah dan urat leher kita mengeras menolak kenaikan BBM, tetap saja kenaikan itu kita rasakan saat ini. Lebih terpuji bila kita sekarang memikirkan bagaimana ketangguhan kita dalam menyikapi kenaikan BBM dalam kehidupan sehari-hari. Argumen ini tidaklah mengecilkan peran teman mahasiswa yang berunjuk rasa selama ini, sampai tulisan opini dituangkan, unjuk rasa dan unjuk hati masih dilaksanakan. Tulisan ini hanya lebih melihat keadaan kita sekarang di koridor negeri Aceh Yang Penuh Keselamatan, Nanggroe Aceh Darussalam.

Halnya kita ketahui di negeri kita Aceh sebelum diumumkannya kenaikan BBM, seperti kerabat propinsi lainnya, mengalami kenaikan permintaan akan BBM, khsusnya Premium di pasaran. Bagaimana tidak, selayaknya dari sisi ekonomi kita pasti akan mencari dan membeli barang yang murah sebelum barang itu naik nilai atau harganya. Akibatnya kita rasakan panjangnya antrian di setiap SPBU saat kita akan membeli atau mengisi kendaraan dengan BBM dan sering pula di setiap SPBU kita melihat palang yang bertuliskan “Maaf Premium Habis”. Inilah fenomena yang terjadi selama ini. Tak terkecuali di Indonesia, kenaikan harga dasar BBM juga melanda negara eropa barat seperti Inggris dan Perancis.

Satu hal yang harus kita cermati dan kita cerdiki saat kenaikan BBM ini tak lain dan tak bukan hanyalah menyikapinya dengan tindakan penghematan. Karena kenaikan harga BBM sebanding dengan besarnya pengeluaran yang harus kita keluarkan sehari-hari. Taruhlah biasanya sebelum BBM naik, bila kita mengisi Premium ke dalam tangki sepeda motor sejumlah tiga liter atau full tank kita bisa memakainya 3-4 hari. Dengan asumsi sehari motor kita berjalan sepanjang 10 kilometer. Nah, sekarang dengan jumlah harga yang sama yang kita bayarkan, kita hanya mendapatkan dua liter lebih sedikit. Ini hanya cukup untuk dua hari. Ini tentu saja memberatkan secara ekonomi. Karena keuangan kita tidak hanya kita konsumsikan untuk bahan bakar saja. Lebih dari itu, kita memerlukan keuangan untuk kebutuhan pokok lainnya.

Ada sebuah alternatif yang menarik yang dapat kita lakukan secara individu maupun massal (baca berkelompok) untuk menghemat BBM, khususnya jenis Premium. Alternatif ini selain bisa mengehemat pengeluaran kita dalam mengkonsumsi Premium, juga dapat mengurangi produksi polusi udara, dan yang lebih penting dapat membuat pengguna menjadi sehat dan bugar. Alternatif ini juga telah menjadi sebuah kegiatan yang rutin dan sering dilakukan di mana saja saat ini. Kegiatan alternatif itu adalah bersepeda.

Bersepeda bukanlah barang baru di planet biru ini. Sejak tahun 1818-an, dimana seorang Jerman Baron Karl von Drais memperkenalkan kendaraan yang menjadi cikal bakal sepeda di Paris, hingga sekarang sepeda adalah media transportasi beroda yang memasyarakat dan murah nilainya. Saat ini model dan fungsinya juga sudah beragam sesuai dengan kebutuhan dan keadaan. Dari segi sejarah dan budaya, negeri ini, Aceh tak lepas dari budaya bersepeda. Lihatlah dulu orang tua kita khususnya yang di Aceh yang menggunakan sepeda(khususnya Gari Tuha) sebagai salah satu moda transportasi yang murah dari segi harga dan perawatannya. Namun seiring dengan waktu sepeda sudah digantikan dengan kendaraan bermesin, yang memang lebih cepat dari segi waktu, namun tetap membutuhkan bahan bakar sebagai pembakar mesin agar dapat begerak. Melihat sejarah dan budaya kita dahulu tak ada salahnya kita mulai kembali melirik kembali kendaraan roda dua yang murah dan sehat ini. Apalagi sekarang semakin banyak penggiat bersepeda di Aceh yang menempatkan sepeda sebagai moda transportasi utama untuk bekerja dan rekreasi. Paling tidak premium tiga liter yang biasa kita konsumsi selama tiga atau empat hari, bisa cukup untuk sepekan bila kita bersepeda ke tempat-tempat tertentu.

Ada harapan lain memang bila kita bersepeda, selain menghemat pengeluaran, kita juga bisa memulai hidup sehat. Selain itu juga untuk jangka panjang, membuat negeri ini hijau dengan mereduksi polusi dari kendaraan bermotor. Hijau adalah dambaan siapapun dan itulah yang harus kita jaga hingga anak cucu kita lahir kelak. Bersepeda adalah salah satu solusinya. Kalau bukan kita siapa lagi yang memulai.
Klik di sini...

in memoriam


"Kepada Civitas Akademika Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, Hormat Tekniiiiiiiiiiiiiik, Grak"...itulah seruan Danton-ku sepuluh tahun yang lalu di saat aku dan beratus mahasiswa baru lainnya mengikuti SIKAT '98. "Danton"...kukira adalah kependekan dari Komandan Batalyon, sebutan Mentor atau senior buat Komandan kami. Sikat adalah kata cantik dari kegiatan orientasi mahasiswa di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala.

Danton kami berperawakan besar dengan kulit yang hitam dan mempunyai suara yang menggelegar. Dan sangat kebetulan sekali, sang Danton berada di kelompok delapan, satu kelompok dengan diriku. Itulah awal aku mengenal sang Danton. Aku juga masih ingat, bahwa sepuluh tahun yang lalu, dia mempunyai nama cantik "EXCEL", sedangkan aku sendiri tertera di dada dengan nama "PH". Namun setelah Sang Danton menjadi Komandan, aktifitasnya telah jarang berada di kelompok delapan. Ya, dia dididik untuk menjadi Komandan yang bisa membuat pasukannya bangga menjadi Aneuk Teknik.


Sang Danton punya nama Heca Manan, efek kepemimpinannya sebagai Danton mengantarkan dia menjadi Komisaris untuk angkatan Sipil 98. Kami menyebutnya Komting, kependekan dari Komisaris Letting. Dan kepemimpinan itu tak juga berlansung lama, hanya terbilang satu tahun, di-impeachment oleh anggota Sipil 98 dan digantikan olehku. Dalih demokrasi merupakan suatu jargon yang hangat di kala itu, apalagi kami tumbuh di perkuliahan pada saat reformasi lagi menggila di bumi nusantara ini, jadi wajar-lah hal sepereti impeachment dan pengunduran diri sesorang bisa terjadi. Bukan suksesi ini yang menjadi inti catatanku kali ini, lebih dari itu, Heca Manan adalah seorang teman dan kawan yang pernah tercatat di sejarah hidupku. Sebuah sejarah memang, pada akhir kuliah, aku dan dia-lah penutup pintu gerbang kelulusan angkatan kami di Sipil 98, dan kami juga naik trailer bersama di saat merayakan hari bahagia mahasiswa di kala penghujung perkuliahan, yaitu pengukuhan gelar sarjana. Juga sangat kebetulan sekali, di Teknik sipil kami berkonsentrasi di bidang yang sama, yaitu sipil basah, kata akademisnya, hidroteknik.

Sebenarnya tak banyak yang bisa menjadi cerita antara aku dan Heca, begitu dia dipanggil, kata "heca" sendiri adalah kebalikan dari terminologi "aceh". (Dan dia tetap menjadi Aceh sejati). Ya, tak banyak memori yang tersimpan antara aku dan Heca, akibat aku sendiri masih belum bisa menerima jargon "teman dekat" atau "sahabat". Namun sedikit langkah hidup yang bisa aku rekam pada dirinya selain menjadi Danton dan Komting, dia juga menjadi anggota mapala di sebuah unit kegiatan mahasiswa pencinta alam LEUSER. Sebuah organisasi pencinta alam mahasiswa yang bernaung langsung di bawah universitas Syiah Kuala. Dia menjadi anggota pada tahun 2001 dan termasuk anggota Pendidikan Dasar (DIKSAR) ke-18. Dia mendapatkan penyematan anggota oleh Abang Ardian Ariatsyah dan mendapatkan no anggota L.277.US. Di LEUSER juga tak banyak hal yang bisa dia berikan, namun dia pernah mengatakan kepadaku, menjadi seorang Mapala bisa membuatku menjadi lebih rajin dan tahu akan kelemahan diri. Selain Arung Jeram di Alas dan bernavigasi di Sarung Keris, Pulau Weh, tak banyak hal yang aku tahu lagi kipah dia di LEUSER. Tapi itu semua lebih dari cukup untuk membuat dia menjadi orang yang berguna.

Setelah sekian lama, akhirnya Heca menemukan juga tiang hidupnya, yaitu seni foto. Aku tak tahu pasti kapan dia memulai. Yang pasti dia pernah katakan di awal jejak dia menjadi seorang juru foto, aku ingin coba hidup di sini. Sejak itu apapun aktifitasnya aku sudah kurang tahu dan ikuti. yang pasti dia sangat terinspirasi dari sebuah filem (aku lupa filem apa), sehingga tekadnya bulat untuk membeli sebuah kamera. Yang aku tahu, terakhir pegangan dia bemerek Canon 40D.Teman yang tahu langlang dia di foto adalah Tojir...mungkin juga Bang Mizi...dan teman di AFN...
Sekarang dia telah tiada, akibat sakit sejak pulang dari Meulaboh, mengerjakan pekerjaannya sebagai juru foto. Tanggal 23 Oktober 2008, pukul delapan pagi dia tiada. Tanpa sempat meng-confirm fesybuk-ku (nama dia Heca Aceh kalau di Fesybuk) dia telah berpulang ke ilahi.
Aku dan semua teman sangat teringat tanggal 25 September 2008 yang lalu, tepat di bulan Ramadhan, kami mengadakan buka puasa bersama, dan dia adalah orang yang sangat bersemangat ingin memotret kami semua, apalagi buat teman-teman yang katanya JOMBLO, "ayo, apalagi! ntah apa malu, ayo yang masih sendiri poto sama-sama" itulah kalimat ujarannya saat ingin memotret teman yang kebetulan masih sendiri atau belum berkelurga. Sayang foto itu belum sempat kami lihat, karena masih berada di arsip beliau di studio foto miliknya. Itulah kenangan terakhir kami di Soto Endang, yang kebetulan dimiliki oleh Abang Ardian Ariatsyah, yang menyematkan keanggotaan Heca Manan di LEUSER.

Terakhir kali aku bertemu adalah saat bersama pergi juga dengan Reno ke kampus untuk sekedar melepas kerinduan pada tanggal 11 Oktober 2008. Saat itu badan Heca sudah mulai lemas, namun di sana aku melihat wajah yang semangat sekali melihat keadaan kampus, seakan flashback beberapa tahun yang lalu muncul kembali. Itulah wajah ceria melihat tempat pendidikan perguruan tinggi kami. Selamat Jalan teman...
Klik di sini...

Sungai Krueng Sabee yang Kritis

telah diterbitkan di harian Aceh Independen pada tanggal 17 Mei 2008



Sungai Krueng Sabee (selanjutnya hanya disebut Krueng Sabee) adalah nama sungai yang secara administrasi berada di Kecamatan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya. Sebuah sungai yang berhulu di kawasan pegunungan perbatasan kecamatan Krueng Sabee di Aceh Jaya dan kecamatan Tangse di Pidie. Krueng Sabee mempunyai panjang mainstream atau badan sungai utama sepanjang lebih dari 30 kilometer. Sungai ini merupakan sebuah sungai utama hasil bertemunya tiga sungai di daerah hulu, yaitu Krueng Teungoh, Krueng Gapuy, dan Krueng Kusi. Sepanjang alirannya ke Samudra Hindia, Krueng Sabee juga tempat bertampungnya beberapa aliran sungai atau alur kecil.

Itulah Krueng Sabee, sungai yang menurut orang gampong berasal dari kata sabee yang bermakna dari hilir atau kuala sampai ke hulu sama lebarnya. Sungai yang dulunya, hingga akhir 70-an, masih jernih tidak kuning dan dalamnya bekisar dua hingga tiga meter. Ureung jeut seumunom, begitulah nostalgia masyarakat di sekitar sungai menceritakan tentang Krueng Sabee. Beberapa hari yang lalu, saya pernah mengunjungi sungai ini bersama tim konsultan WWF untuk melihat kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Sabee. Gambaran yang diceritakan masyarakat tak terlihat sama sekali, tentu saja, sebagian besar sungai di Aceh pada saat ini di bagian hilir yang bermuara langsung ke laut pasti telah berwarna kuning dan dangkal. Tak terkecuali Krueng Sabee. Mulai dari desa Keude Krueng Sabee hingga desa Buntha, air di badan sungai berwarna keruh dan terlihat terbentuknya delta di beberapa meander sungai. Perjalanan dilakukan pada akhir April lalu, kebetulan saat itu hujan terus mengguyur kabupaten yang mekar dari Aceh Barat pada tahun 2002. Hujan tidaklah lebat, namun hujan yang turun secara terus menerus mengakibatkan beberapa titik lokasi di pinggiran Krueng Sabee meluap.


Masyarakat desa sekitar berujar bahwa setiap tahunnya dua sampai lima kali banjir besar melanda beberapa desa di pinggiran Krueng Sabee. Tak termasuk banjir atau luapan kecil, yang frekuensinya bisa sampai sepuluh kali dalam setahun. Angka ini menurut analisa tim konsultan WWF merupakan angka yang sangat besar dan sangat kritis untuk sebuah sungai. Bila kita melihat secara visual fisik atau badan sungai disamping bukti terjadinya delta di badan-badan sungai, terutama di daerah meander, banjir di Krueng Sabee besar akibatnya dikarenakan pendangkalan dasar sungai. Berikut penuturan masyarakat kepada tim menyatakan kedalaman sungai pada saat kemarau tidak lebih dari satu meter. Ini mengindikasikan pendangkalan atau sedimentasi yang besar menyebabkan sungai tak dapat menampung luapan air hujan .

Awal tahun 80-an adalah awal sebuah perubahan mendasar bagi Krueng Sabee. Pada masa ini beberapa perusahaan HPH beroperasi di daerah Hulu kawasan Krueng Sabee atau di dalam Daerah Aliran Sungai(DAS) Krueng Sabee. Bagaimana tidak, sebelum HPH masuk, Krueng Sabee dapat dilalui perahu bermotor atau jaloh tanpa khawatir akan sangkutnya propeller di pasir dasar sungai. Air sungai masih jernih dan dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Apa lacur, kayu-kayu besar yang mendiami hutan di sekitar DAS Krueng Sabee menjadi santapan empuk perusahaan HPH, padahal kayu-kayu ini sangat berperan menahan laju air pemukaan pada saat presipitasi atau hujan. Lazimnya hujan yang turun tentu mengakibatkan air limpasan permukaan setelah sampai di tanah. Air ini sebagian ter-infiltrasi ke dalam tanah untuk menjadi air tanah. Sebagian lagi menjadi air limpasan yang mengalir ke tempat yang tekanannya rendah. Di sinilah peranan hutan terutama pohon untuk melindungi tanah dari gerusan air hujan sehingga mengakibatkan sedimentasi di air permukaan seperti sungai. Pohon sebagai vegetasi dengan perakarannya dapat membuat porositas yang baik di permukaan tanah, akibatnya bila terjadi hujan atau prespitasi. air akan melaju ke dalam tanah melalaui proses infiltrasi. Laju infiltasi yang baik dapat memperkecil laju run off (limpasan permukaan). Kecilnya laju run off dapat memperkecil gerusan tanah yang akan menjadi sedimentasi oleh air.

Analisa tim dari WWF menyatakan Krueng Sabee berada dalam kawasan daerah aliran sungai hutan atau forested watershed, karena sebagian besar kawasan tersebut ditutupi oleh hutan. Jelas sekali, hutan di sekitar Krueng Sabee merupakan penyangga atau buffer zone bagi lingkungan atau kawasan di sekitar sungai. Tak dipungkiri setelah beberapa tahun beroperasinya perusahaan HPH dan HGU di hutan Aceh Jaya, khususnya di daerah hulu Das Krueng Sabee, fenomena alam berubah. Air sungai menjadi keruh, dasar sungai menjadi dangkal, dan air sungai terkontaminasi oleh limbah kayu. Menurut masyarakat, pemerintah tidak pernah meminta masukan dari mereka pada saat HPH masuk ke wilayah mereka. Karena sebelumnya, adat masyarakat di sekitar sungai sadar akan pentingnya hutan bagi mereka. Namun apa lacur, setelah HPH berjalan, masyarakat tetap saja mengkonsumsi air sungai untuk minum, mandi, dan lainnya. Efeknya masyarakat banyak mengalami penyakit kulit dan dari segi ekonomi masyarakat tidak mendapatkan keuntungan banyak pada saat perusahaan HPH beroperas. Era konflik, pada akhir tahun 90-an, membuat perusaahan HPH berhenti beroperasi. Begitu juga masyarakat banyak yang meninggalkan gampong halaman untuk menjadi pengungsi di daerah pesisir. Penambangan hutan otomatis berhenti namun sayang tak ada usaha reboisasi oleh pihak terkait untuk menutup (covered) daerah yang telah menjadi lahan lapang. Masyarakat kepada tim dari WWF menyatakan, setelah berhenti beroperasi keadaan alam Krueng Sabee membaik. Membaik di sini hanya dari sisi, hilangnya limbah pabrik (bubuk kayu) dari badan sungai. Namun sedimentasi tetap berjalan pada saat hujan turun, laju run off lebih besar dari pada infiltrasi, hasilnya dapat kita lihat sekarang, sungai menjadi dangkal dan banjir sering terjadi dalam setahun. Fenomena ini bertambah buruk akibat perubahan iklim (climate change) yang signifikan terjadi di dunia ini akibat global warming. Banjir tiada lagi datang pada saat bulan masehi yang berakhiran ”ber”. Namun di setiap hujan lebat turun, daerah di sekitar sungai pasti sangat rawan banjir. Menurut data hujan dan analisa tim WWF, daerah di sekitar Krueng Sabee memang daerah basah, selama 12 bulan masehi 83 persennya merupakan bulan basah.

Analisa di atas merupakan anasir yang menunjukan bahwa pengelolaan sungai (baca konservasi sungai) sangat bergantung pada keutuhan buffer zone yaitu hutan. Berilah kesempatan kepada masyarakat untuk mengelolanya. Apalagi Aceh sangat mengenal sebutan HUTAN ADAT dan ADAT HUTAN (meminjam istilah pakar hukum Aceh saudara Taqwaddin, SH, SE, MS, CD). Aceh mengenal Pawang Uteuen yang mengelola atau manajer dalam hal membuat dan melaksanakan ”undang-undang” uteuen mukim. Apalagi pada zaman Belanda, Krueng Sabee mempunyai Pawang Krueng yang bertugas memelihara sungai dari kerusakan dan kekotoran. Secara tak langsung, bila derah sekitar Krueng Sabee dapat dihijaukan dan dijaga maka Krueng Sabee dan anak-anak sungainya bisa menjadi sumber air bersih bagi sebagian besar masyarakat Kecamatan Krueng Sabee.
Klik di sini...

Reportase Monitoring Bagian I

Survey dan monitoring dimulai lagi. Kali ini kita berlayar, walau naik mobil, menuju ke pantai barat propinsi di ujung negara Indonesia, NAD.

Kita berangkat hari Senin, kebetulan bertanggal 13 Agustus 2007. Setelah Tsunami, bila kita ingin menuju pantai barat dari Banda Aceh tentunya, pasti orang akan bertanya,

liwat manakah kita menuju ke sana? Pasti jawabannya ada dua, liwat jalur Lhoknga atau liwat jalur Geumpang. Kali ini Kita memilih jalur Lhoknga.

Pasti semua orang tahu, jalur Lhoknga masih dalam proses rehab-rekon, karena rusak parah akibat Tsunami 26 Desember 2004 yang lalu.

Monitoring mulai lagi, sepuluh personel plus dua supir dengan cerianya menuju Lamno. Sepanjang jalan, kita melihat proses pembangunan fisik terus berlangsung.

Khususnya jalan, kita sering melihat alat-alat berat melintas sembari bekerja mengeruk, memadatkan, dan mengangkut material yang ada.



Leupung (Desa Keude Leupung) sekarang bebas pungutan, namun jalan masih dipadatin dengan kerikil dan pasir, belum dilapisi material yang banyak terdapat di Buton, aspal. masih ada lima puluh polisi tidur dengan jarak saling dekat, ditambah dua belas polisi tidur sebelum Keude Leupung, namun yang ini jaraknya berjauhan.

Dari Keudee Leupung sampai Lhok Seudu, jalan masih berdebu, kadang-kadang ada yang masih melekat aspalnya. Dan yang terpenting jalan masih terasa datar.

Setelah Lhok Seudu, jalan mulai berelevasi tinggi, istilah kita berkelok-kelok. Laut yang tadinya di sebelah kanan, sekarang sudah mulai berada di bawah. Lumayan, sampai dengan Paro, sekian lama mual menyerang. Jumpa desa Paro, agak lega sedikit, namun hanya sekejap, kita bisa menarik napas sebentar sebelum mulai menaiki satu bukit lagi, Mual....lagi.

Setiba di Cot Darat, jalan telah kembali datar. Jalan masih jalan dahulu, aspal. Sekarang telah sampai di Kecamatan Lhoong, sejauh sampai perbatasan jalanan tetap diselimuti aspal dan kerikil. Di sepanjang jalan kita melihat salah satu BUMN negeri ini melaksanakan proyek pengerjaan jalan lintas Banda-CAlang yang biayanya berasal dari masyarakat yang negaranya mendapat julukan adikuasa.

Lamno, negeri perempuan mata biru, Begitu kiranya, awam menyebut negeri ini. padahal tak semua perempuan negeri ini bermata biru keturunan portugis.Mereka hanya berada di desa Kuala Daya dan Ujung Muloh sahaja, beritanya tersiar bahwa komunitas mereka hilang dihapus Tsunami 26 Desember 2004. Wallahu A'lam!. Negeri ini (Kecamatan Jaya), dibatasi oleh Lautan Hindia dan Pegunungan Bukit Barisan, membuat negeri ini sejuk dan dingin di malam hari akibat hembusan angin lembah.

Monitoring di mulai di desa Kuala.Salah satu desa asal perempuan mata biru. Sebelum Tsunami menuju desa ini melalui jalan Banda Aceh-Calang, melewati jembatan di atas muara sungai yang membelah Kuala dan Ujung Muloh. Setelah tsunami, jembatan roboh akibat terjangan tsunami. Untuk menuju ke sana, ada dua jalan untuk ke sana. Melewati jalan putar Lamno-Calang, namun terasa lama dan jauh. Alternatif kedua, menuju Kuala menumpangi rakit dari Ujung Muloh.Tak sampai tiga menit kita sudah sampai di sana dengan membayar dua ribu rupiah per orang. Catatannya, hanya orang dan sepeda motor yang boleh naik rakit ini.

Kuala berhadapan langsung dengan Samudra Hindia, akibatnya sewaktu tsunami mengalami kerusakan sangat parah. Kuala juga diapit oleh perbukitan dan sungai Kr. Lambeuso. Proses rehabilitasi dan rekonstrukdi di Kuala berjalan lamban bila dibandingkan dengan desa-desa di Kabupaten lain. Namun lebih cepat bila dibandingkan desa tetangga Ujong Muloh, yang sampai saat ini masih menunggu proses pembangunan perumahan dari salah satu organisasi palang merah yang berasal dari Utara benua Amerika. Kuala dibantu oleh organisasi palang merah dari negara Cina. Palang Merah Cina tidak hanya membangun rumah sahaja, namun juga membangun perumahan sebagai pemukiman. Mereka juga membangun jalan dan drainase. Tak terlihat secara pasti konsolidasi tanah di Kuala walupun terlihat lebih tertata. Secara keseluruhan warga di Kuala merasa puas dengan apa yang telah diberikan Palang Merah Cina.

Setelah Kuala, tim monitoring berangkat ke Lambaroh, sebuah Desa yang letaknya sebelum Kota Lamno. Lambaroh terletak di pinggir jalan hitam Banda Aceh-Lamno. Bila dari Banda Aceh, desa ini lima menit sebelum pusat Lamno. Perumahan di Lambaroh dibantu pembangunannya oleh USAID dengan pelaksana CHF. CHF sendiri merupakan salah satu lembaga atau NGO yang punya pengalaman membangun rekonstruksi rumah di dunia konflik maupun di dunia bencana.

Hasil pembanguan yang dimotori CHF lumayanlah bagusnya. Masyarakat sangat puas. Hanya saja, sewaktu kita tiba di sana, listrik masih belum masuk dan sarana komunikasi juga belum menjamah Lambaroh.


Klik di sini...

LISTRIKKU SAYANG LISTRIKKU MALANG

opini yang pernah dimuat di Aceh Independen tanggal 6 Mei 2008

LISTRIKKU SAYANG LISTRIKKU MALANG

Tadi malam giliran kampungku mati lampu dan malam ini belum tentu tak mati juga. Itulah pendapat dan kelakar masyarakat kota Banda Aceh saat ini mengenai seringnya pemadaman listrik secara bergiliran. Giliran yang menggelapkan rumah selama empat jam. Empat jam adalah batasan waktu matinya sang penerang. Zaman kini listrik merupakan modal utama atau batang tubuh roda kehidupan kita sebagai makhluk hidup. Tak di rumah maupun di industri, listrik adalah nyawa. Tanpa listrik semua jadi hampa. Berlebihan, tentu tidak. Lihatlah, di nusantara ini, tak terkecuali pulau Jawa dan Bali (padahal kedua pulau ini merupakan pulau yang bebas hambatan listrik), padamnya listrik masih dan akan terus menjadi masalah. Walikota, pejabat pemerintah, dan masyarakat tak henti-hentinya membuat seruan agar Perusahaan Listrik Negara (PLN) membuat perubahan mengenai penataan perlampuan atau perlistrikan. Walikota kota Banda Aceh di harian terbesar di Nanggroe Aceh Darussalam juga mengeluhkan pelayanan listrik mulai dari Banda Aceh hingga pantai timur. Beliau meyebutkan keadaaan listrik selama ini di Aceh dapat menghambat investasi. Berlebihankah, tentu saja tidak. Karena dapat dikatakan listrik merupakan modal primer bagi setiap jenis industri. Termasuk industri rumah tangga.

Begitu juga dengan saya, tadi malam saat mati lampu, otomatis pandangan mata menuju ke pesawat telepon. Apakah ada hubungannya, tentu saja ada. Setiap listrik padam pasti langkah pertama yang saya ambil adalah menelepon PLN (tentu saja setelah memastikan bahwa sekering tidak "membal"). Di benak ini selalau muncul pertanyaan mengapa listrik padam lagi. Terkadang jaringan di seberang terdengar nada "sibuk". Namun yang sering petugas pasti bersedia memberi penjelasan mengapa listrik padam dan kapan akan terang kembali. Walaupun saya akui petugas juga kelelahan menerima keluhan atau pertanyaan mengapa listrik padam. Dalam hal saya salut dan angkat topi kepada petugas. Karena mereka masih betah melayani pelanggan yang terkadang "cerewet". Padahal kalau kita akui petugas operator telepon adalah masyarakat biasa dan tentu saja bukan Penyelesai Masalah. Namun begitulah adanya. Langsung tak langsung kita merasakan PLN tak dapat melayani kita sepenuhnya walau kita telah membayar tagihan setiap bulannya. PLN tetap menjadi kambing hitam bila sebuah kampung terkena giliran pemadaman lampu.



PLN sendiri tidaklah tanpa alasan membuat kebijakan untuk memadamkan listrik di setiap kawasan. Alasannya mesin diesel PLN yang ada saat sekarang ini tak mampu memenuhi kebutuhan daya listrik di Banda Aceh sebesar 21 Mega Watt. Bisa dibayangkan bila maghrib telah tiba, saat matahari telah terbenam. Orang akan mengarahkan tangannya ke saklar lampunya secara bersamaan. Andaikan saudara, sebuah rumah menghidupkan lampu sejumlah 400 watt dan secara bersamaan di tempat lain ada 1000 rumah lain menghidupkan lampu sejumlah yang sama, maka beban atau daya yang dibutuhkan mesin diesel saat bersamaan bisa jadi menjadi sepuluh kali lipat dari total pemakaian 400KiloWatt. Atau dengan kata lain ada 4000KiloWatt yang dibutuhkan mesin diesel untuk menghidupkan lampu. Mesin diesel akan kewalahan dan menghabiskan banyak energi bila lampu kita sering "hidup-mati". Langkah yang diambil agar mesin diesel tidak kewalahan adalah dengan pemadaman secara bergiliran.

Nah kini kita semua pasti bertanya, mengapa perusahaan negara sejenis PLN tak bisa mengusahakan membeli mesin diesel baru untuk membantu kelancaran kerja mesin diesel yang sudah ada. Karena harga mesin dan perawatannya memang sangat mahal. Namun demikian sebenarnya pihak pemerintahan juga mempunyai solusi dengan terus berusaha menambah suplai listrik dari pembangkit listrik yang baru seperti PLTA Peusangan dan PLTU Batu Bara yang kabarnya akan dibangun di Saree. Semua ini hanyalah solusi jangka pendek (short term solution). Bagaimana tidak, cobalah perhatikan semua jenis pembangkit listrik pada saat ini. Pembangkit tenaga diesel dibangkitkan oleh Diesel yang dibantu oleh diesel fuel atau solar yang berasal dari penyulingan minyak bumi. Pembangkit listrik tenaga uap yang sebagian besar pemabakarannya menggunakan batubara. Semua jenis pembangkit ini bersumber dari sumber energi yang tidak terbarukan atau tidak renewable energy. Begitu juga dengan pembangkit listrik oleh tenaga air, walaupun termasuk ke dalam renewable energy tetap saja debit airnya harus terus dijaga agar tetap kerja optimal. Debit maksimum saat banjir dan debit maksimum saat kemarau harus dijaga dengan baik agar tidak terjadi selisih yang besar. Efeknya bisa-bisa pasokan listrik bisa berkurang. Kita bisa melihat kemarau yang lalu, listrik di Pulau Jawa sering terganggu akibat waduk seperti Jatiluhur di Purwakarta Jawa Barat, Gajah Mungkur di Wonogiri, dan Karangkates di Jawa Timur.

Inilah gambaran listik di Nusantara ini yang menjadi masalah nasional. Apalagi Juni mendatang bahan bakar juga naik lebih dari 20 persen. Bisa dibayangkan penghematan yang akan dilakukan oleh pemerintah. Berbicara masalah penghematan, alangkah indah dan pantas bila kita sebagai pengguna atau pelanggan listrik memulai mengkonsumsi listrik dengan hemat. Pengalaman di negeri ini tarif dasar listrik (TDL) terus saja naik dan tidak pernah turun. Begitu pula dengan kenaikan bahan bakar minyak yang juga menunjang kenaikan TDL dan harga sembako, tidak akan pernah turun lagi. Hemat listrik oleh konsumen adalah satu-satunya cara mengatasi listrik secara jangka panjang atau sustainable. Dengan menghemat penggunaan listrik, konsumen dapat menekan biaya pemakaian listrik setiap bulannya. Secara tak langsung tindakan kita menghemat listrik berimbas kepada sisi ekonomi dan lingkungan hidup kita. Dari sisi ekonomi kita dapat menghemat anggaran dan dapat menyisihkannya untuk hal yang bermanfaat bagi keluarga. Begitu pula bila kita lihat dari sisi lingkungan, bila penghematan ini dilaksanakan secara global atau secara bersamaan, kita dapat menekan konsumsi bahan bakar yang berasal dari minyak bumi. Konsumsi minyak bumi secara berlebihan mengakibatkan banyak polusi dan membuat bumi semakin panas. Intinya menghemat listrik salah satu bagian tindalan kita mengurangi efek pemanasan global atau global warming. Ada pepatah mengatakan banyak jalan menuju roma, banyak cara pula untuk menghemat listrik. Pertama, tindakan menghemat dari diri sendiri dan mengajarkan tindakan hemat kepada setiap keluarga sejak dini. Ini adalah contoh cara menghemat yang sustainable, karena pendidikan dini merupakan tindakan yang paling efektif untuk memulai kebaikan dalam bentuk apapun. Tindakan kedua, mendesain (lebih tepatnya mengkondisikan) sebuah ruangan yang dapat digunakan oleh semua anggota keluarga untuk berkumpul dan beraktifitas bersama pada saat peak hour. Efek sampingnya, selain menghindari konsumsi listrik yang berlebih di setiap ruangan juga dapat meningkatkan hubungan keakraban di dalam keluarga. Tindakan ketiga yang sangat penting adalah mendesain rumah yang hemat energi atau disebuat rumah dengan konsep rumah hijau. Ketut S.Astawa mengatakan dalam sebuah artikel menyebutkan, penggunaan kipas (fan) membutuhkan 18-20% dari total energi untuk gedung-gedung dan perkantoran, serta tidak kurang 20-25% untuk perumahan. Sangat jelas terlihat bahwa iklim tropis yang panas menjadikan energi lebih dominan dibutuhkan untuk kenyamanan beraktivitas pada suatu ruangan. Bila setiap rumah di dunia rata-rata menyumbang tidak kurang 20% carbon emission ke atmosfir maka angka-angka tersebut yang menggambarkan kerusakan alam di dunia, secara tidak langsung adalah kontribusi setiap umat di dunia, termasuk kita di Indonesia. Menurut beliau juga, dengan mengembangkan konsep ''rumah hijau'' kita bisa menekan pemborosan energi di sektor ini dan juga yang lebih penting maknanya, kita bisa menghambat pemanasan dunia (global warming). Konsep rumah hijau mampu menekan penggunaan listrik secara signifikan dengan kenyamanan yang jauh lebih baik. Penataan kawasan pun manjadi rapi, indah dan asri. Juga dikatakan bahwa bangunan gedung atau perumahan yang tidak hemat energi adalah 80% kesalahan desain arsitekturnya. Konsep rumah hijau selain dapat menghemat listrik juga dapat mereduksi pemanasan global.

Pada akhirnya penghematan merupakan sebuah daya dari kita membantu PLN dan bangsa ini keluar dari krisis. Believe it or not bila kita melaksanakannya, anak cucu kita nanti yang akan menusi hasilnya. Tentu imbas tindakan kita tidak akan berhasil bila tidak ada sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan manajemen PLN. Bila hemat listrik, kebutuhan 21 Megawatt bisa kita minimalkan hingga mesin diesel PLN bisa bekerja optimal dan meminimalisir pemadaman secara bergilir.

Ada satu hal yang penting dalam melaksanakan penghematan listrik secara global (baca, menyeluruh). PLN harus mampu membuat manajemen yang baik sehingga dapat diketahui masyarakat atau pelanggan mana yang melakukan penghematan secara signifikan. Bagi mereka, PLN harus memberi reward atas keberhasilan mereka. Realitanya, PLN hanya melaksakan punnishment bila pelanggan, konsumen, atau masyarakat menunggak aliran listrik.


Klik di sini...

aceh dan gajah (bagian I)

Berita di koran hari ini, kemarin, dan mungkin juga esok hari, lagi-lagi mewartakan gajah. Kalau bicara warta gajah di koran, pastilah isinya konflik gajah dengan manusia. Tak beda dengan ini hari juga mewartakan konflik gajah dan manusia. Tak tahulah siapa yang salah di sini. Salah manusia atau salah gajahnya. Kalau lihat dari sudut pandang manusia yang menjadi korban, tak mungkinlah manusia itu yang salah. Manusia terus menjadi korban. Malah manusia ada yang merenggang nyawanya akibat diserang dan diamuk kawanan haiwan yang bernama latin Elephas maximus. Kalau kita melihat dari sisi gajah, tak mungkin juga dia yang salah. Gajah punya otak, namun tak bisa digunakan untuk berfikir. Dia hanya punya instinc atau naluri hewaniah. Namun kalau gajah bisa berfikir, apakah akibatnya akan lebih runyam atau mungkin lebih baik?. Wallahu Alam.

Melihat berita konflik gajah manusia dan memikirkannya, tentu saja yang pusing adalah pihak pemerintah(siapa yang berani bilang mereka tak pusing?) seperti BKSDA. Bukan pihak penguasa tentunya(karena mereka hanya pusing bila kekuasaan telah habis masanya). Kenapa lembaga itu pusing. Jawabannya sederhana, membantu manusiakah atau membantu gajah. Membantu manusia, sudah pasti perlu, dan itu wajib bagi manusia lain(semua agama mengajarkan itu). Mana tahan kita melihat manusia yang tertindas tanpa sebab, apalagi oleh seekor gajah yang tak punya pikir. Nah, membantu gajah? Bagi mereka ini perlu juga. Alasan untuk melestarikan dan menjaga populasi gajah adalah sebabnya. Untuk inilah lembaga ini berdiri. Berdosa bagi mereka bila negeri yang dahulu kaya akan gajah dan sempat menjadi simbol kerajaan menjadi tak ada gajah sama sekali atau punah. Mengurus gajah sekarang adalah sebuah dilema atau ibarat memakan buah simalakama.



Elephas maximus sumatranensis adalah subspesies yang hidup di Aceh sekarang ini. Memang dibandingkan dengan kerabat-kerabatnya di Asia dia lebih kecil. Apalagi bila dibandingkan dengan keluarga Luxondata atau gajah afrika. Namun demikian walau mempunyai tubuh kecil, di Aceh mereka telah menorehkan sejarah yang besar. Gajah merupakan hewan yang dihormati dan disegani. Gajah dalam kultur Aceh mempunyai kasta sesuai denga fungsi dan tabiatnya. Ada gajah yang dijuluki gajah baik dan ada juga gajah yang liar dan bersifat nakal. Apakah saat ini rakyat Aceh tak lagi mengakui gajah sebagai makhluk tehormat sehingga dengan leluasa gajah berkunjung ke kampung dan merusak apa saja di depannya. Wallahu Alam juga, karena gajah juga tak punya pikir.

Konflik gajah dan manusia sepertinya tak akan pernah berakhir. Selama penanganan gajah liar hanya diporsikan untuk untuk ditangkap dan dilatih tidaklah akan menyelesaikan inti masalah.Memang benar untuk sementara ini penanganan terhadap gajah liar adalah dengan cara diburu dan ditangkap oleh pawang dengan bantuan gajah yang telah terlatih. Gajah terlatih ini juga merupakan eks gajah liar, namun telah lama menjalani latihan ketangkasan di tempat yang dinamai Pusat Latihan Gajah(PLG). Gajah liar yang tertangkap, seperti pendahulunya, akan juga dilatih oleh pawang atau mahout agar bisa menjadi gajah jinak. Setelah dia jinak dia akan mengemban tugas untuk memberi jalan pada pawang dan mahout untuk menangkap teman-temannya yang masih dikategorikan liar. Itulah tugas utama bekas gajah liar. Beruntung buat gajah, bila tiba saatnya agustusan, khusus saat pawai 17 Agustus-an, atau hari-hari besar lainnya, sang gajah bisa diajak pawai berkeliling kota dan ditonton khalayak ramai. Bila ada momen lain, gajah bisa menjadi entertainer amatiran untuk menghibur rakyat dengan bermain bola antar sesamanya. Ini akan terus menjadi siklus dan berdaur dengan sendirinya bila ada gangguan gajah liar di kawasan tertentu. Dengan kalimat lain, gajah dapat dilatih bila konflik gajah manusia terjadi.

Nah, mengapa tak ada sistem penanganan untuk gajah liar sebelum dia atau mereka turun ke wilayah pemukiman manusia. Kenapa setelah ada korban manusia atau korban ekonomi akibat lahan peranian dan perkebunan rusak, barulah mata kita terbuka lebar dan telinga kita mengembang hingga hati kita sadar kalau gajah telah turun kampung lagi. Akibatnya ada sebagian kelompok yang menghunus parang, menempa besi tumpul hingga menjadi tajam, tombak, dan alat tajam lainnya mencoba menghalau gajah bila mereka turun kampung(pengalaman masyarakat Teunom mengusir gajah, [penuturan dari Alm Keuchik Hasbi). Beruntung bila gajah dapat diusir, bila tidak? Bisa-bisa gading mereka yang ketusuk ke badan kita. Belalai mereka yang membanting tubuh kita hingga tulang menjadi remuk. Kaki yang menopang berat beberapa ton yang menginjak sehingga isi perut kita keluar, Naudzubillah. Apakah ini akan terus terjadi?



Klik di sini...