Linge Butuh Irigasi

Beberapa hari lalu, saya dan seorang teman, berpergian ke Kampung Linge. Niat memang hanya untuk jalan-jalan dan ingin tahu bagaimana keadaan Linge saat ini. Karena saya sendiri sudah lebih 15 tahun tak melihat-lihat kampung konon katanya adalah kampung asal Urang Gayo.

Sesampai di Linge, yang dikelilingi bukit yang lumayan gundul , layaknya sabana. Seperti juga pengunjung lain pasti akan menuju Umah Pitu Ruang yang berada di kawasan Museum Umah Reje Linge, Buntul Linge, Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah. Seperti itu lah yang tertera di palang depan Umah Pitu Ruang.

Setelah puas menikmati keadaan di Museum Reje Linge yang di dalamnya terdapat Umah Pitu Ruang dan sebuah telege yang konon katanya tak pernah kering, kami melanjutkan langkah ke arah bukit timur. Di sana kami berziarah ke makam leluhur Raja Linge.

Sepulang dari bukit yang terdapat makam kami kembali ke kampung Linge dengan arah pulang yang berbeda. Kami memutari sawah yang kebetulan para petani sedang melakukan kegiatan mumatal. Sawah-sawah di sini dibelah oleh sungai kecil yang lumayan deras bila musim hujan. Namun kata kawan saya, terkadang bila musim kemarau, sungai ini menjadi kecil dan airnya kotor. Saat melewati sawah dengan cara berjalan di atas pematang sawah yang masih basah, tentu sering saya terpeleset, akibat, ya, tak biasalah. Di sawah-sawah ini juga ada pipa-pipa paralon yang katanya menjadi media untuk suplai air bersih dan air minum ke Kampung Linge. Sebelumnya saya berpikir ini adalah media untuk irigasi bagi mereka yang sedang bersawah.


Saat akan mendapatkan jalan ke kampung, kami bertemu dengan kelompok tani yang sedang bekerja di sawah. Salah seorang dari mereka, Aman Riza sedang mujamu beberapa orang untuk membajak (mumerjak) dan mumatal sawah-sawah mereka. Karena kawan saya kenal dengan beliau, kami singgah dahulu di jamur bapak Aman Riza. Seperti biasa bila masyrakat Gayo bertemu dengan karibnya pastilah harus ada prosesi jamuan walau sederhana.

Setelah lama bercerita, akhirnya sampailah di sebuah titik permasalahan. Bagi mereka saat ini, di kampung Linge sangat susah untuk bersawah. Susah, karena mereka hanya bisa menanam hingga memanen dengan frekuensi sekali dalam setahun. Malah kadang, lebih dari setahun setelah panen baru bisa mulai menanam lagi. Mengapa, menurut mereka itu akibat susahnya pasokan air dari hulu ke sawah yang ada di sini. Malah menurut mereka, mereka bisa berkeja di sawah saat ini karena ada air bah yang datang beberapa hari sebelumnya.

Mereka bercerita, jikalau susah air dan mereka ingin menanam padi di sawah. Mereka harus pergi ke arah hulu, ke arah ulu ni weh, mata air. Sesampai di sana mereka harus menebang beberapa pohon pinus. Pohon pinus ini dijadikan sebagai media untuk membendung aliran air di hulu. Menurut mereka, cara yang mereka lakukan adalah dengan menebang pohon pinus di daerah atas dan mendorongnya ke arah air yang ingin dibendung. Seringnya pohon yang mereka jerolong (gulingkan ke bawah), sangkut di pohon-pohon di bawahnya. Alhasil bila ada banyak orang mereka harus menggotongnya ke arah sungai. Ini bagi mereka pekerjaan berat. Apalagi ada himbauan agar tidak menebang pohon. Ya, begitulah kami membuat tasik agar sawah ini bisa dialiri, ujar Bapak Aman Riza.

Akhirnya mereka memohon kepada kami, agar suara ini bisa disampaikan ke Takengon, khususnya kepada kepala instansi yang terkait dengan irigasi. Kalau bisa ya Bupati. Kami ya, hanya bisa senyum saja. Apalagi saat Bapak aman Riza tahu kalau saya bekerja di sebuah instansi pemerintah di kabupaten tetangga (saudara muda Aceh Tengah), bidang irigasi pula, dengan kerendahan hati Beliau mewakili temannya mengatakan, “ Win, kamu kan bekerja di sana. Tolonglah kamu beritahu Bupati kalian agar bisa memberi bantuan irigasi ke kampung Linge”. Tentu saya menjawab, kalau itu tak bisa, karena ranah politiknya berbeda. Beliau menjawab lagi, “ Ah, kenapa gak bisa, kan kabupaten kalian juga sama dengan di sini, sama-sama Gayo. Apalagi Linge adalah asalnya Gayo. Mana ada masalah dengan itu. Kalau ini berhasil, dengan segala kerendahan hati kami berganti KTP menjadi masyarakat sana. Kalau pun tak bisa, kami mau menjadi masyarakat Kabupaten lain, macam Gayo Lues atau aceh Tenggara.”

Beliau juga menambahkan, “ Linge dan Samarkilang itu dekat dari segi geografis dan dari segi budaya juga dekat. Kau jatuhkan sabun di sungai di sini, pasti jatuhnya ke arah Samar juga. Jadi tak ada salahnya Bupati kalian beri bantuan irigasi ke Linge. Kalau bisa kasi bantuan buat bisa meledakkan bukit itu, sehingga air bisa mengalir ke sini”. Terus terang saya kaget juga mendengar pernyataan ini. Lagi-lagi kami, apalagi saya, hanya tersenyum saja.

Memang bila diperhatikan secara seksama. Linge memang daerah yang agak gersang dibandingkan dengan Isaq. Dan lagi, saat kami lewati sawah, memang tak ada saluran irigasi yang bisa mengaliri sawah dengan air. Namun demikian, terlepas dari tendensi tulisan ini yang hanya memperoleh informasi di kelompok tertentu dan hanya dalam waktu yang singkat. Tak salah juga bila suara tentang irigasi ini ditindak lanjuti.

Terus terang, saya menulis ini hanya sebagai pesan moral saja. Bukan karena Linge semata, juga kampung lain yang bernasib sama. Siapa pun ingin negerinya makmur.

PS: ini memang hanya dari obrolan, bukan pengamatan mendalam, apalagi penelitian. Tapi paling tidak ada yang bisa dibagi buat kita semua.
Klik di sini...