Sungai Krueng Sabee yang Kritis

telah diterbitkan di harian Aceh Independen pada tanggal 17 Mei 2008



Sungai Krueng Sabee (selanjutnya hanya disebut Krueng Sabee) adalah nama sungai yang secara administrasi berada di Kecamatan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya. Sebuah sungai yang berhulu di kawasan pegunungan perbatasan kecamatan Krueng Sabee di Aceh Jaya dan kecamatan Tangse di Pidie. Krueng Sabee mempunyai panjang mainstream atau badan sungai utama sepanjang lebih dari 30 kilometer. Sungai ini merupakan sebuah sungai utama hasil bertemunya tiga sungai di daerah hulu, yaitu Krueng Teungoh, Krueng Gapuy, dan Krueng Kusi. Sepanjang alirannya ke Samudra Hindia, Krueng Sabee juga tempat bertampungnya beberapa aliran sungai atau alur kecil.

Itulah Krueng Sabee, sungai yang menurut orang gampong berasal dari kata sabee yang bermakna dari hilir atau kuala sampai ke hulu sama lebarnya. Sungai yang dulunya, hingga akhir 70-an, masih jernih tidak kuning dan dalamnya bekisar dua hingga tiga meter. Ureung jeut seumunom, begitulah nostalgia masyarakat di sekitar sungai menceritakan tentang Krueng Sabee. Beberapa hari yang lalu, saya pernah mengunjungi sungai ini bersama tim konsultan WWF untuk melihat kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Sabee. Gambaran yang diceritakan masyarakat tak terlihat sama sekali, tentu saja, sebagian besar sungai di Aceh pada saat ini di bagian hilir yang bermuara langsung ke laut pasti telah berwarna kuning dan dangkal. Tak terkecuali Krueng Sabee. Mulai dari desa Keude Krueng Sabee hingga desa Buntha, air di badan sungai berwarna keruh dan terlihat terbentuknya delta di beberapa meander sungai. Perjalanan dilakukan pada akhir April lalu, kebetulan saat itu hujan terus mengguyur kabupaten yang mekar dari Aceh Barat pada tahun 2002. Hujan tidaklah lebat, namun hujan yang turun secara terus menerus mengakibatkan beberapa titik lokasi di pinggiran Krueng Sabee meluap.


Masyarakat desa sekitar berujar bahwa setiap tahunnya dua sampai lima kali banjir besar melanda beberapa desa di pinggiran Krueng Sabee. Tak termasuk banjir atau luapan kecil, yang frekuensinya bisa sampai sepuluh kali dalam setahun. Angka ini menurut analisa tim konsultan WWF merupakan angka yang sangat besar dan sangat kritis untuk sebuah sungai. Bila kita melihat secara visual fisik atau badan sungai disamping bukti terjadinya delta di badan-badan sungai, terutama di daerah meander, banjir di Krueng Sabee besar akibatnya dikarenakan pendangkalan dasar sungai. Berikut penuturan masyarakat kepada tim menyatakan kedalaman sungai pada saat kemarau tidak lebih dari satu meter. Ini mengindikasikan pendangkalan atau sedimentasi yang besar menyebabkan sungai tak dapat menampung luapan air hujan .

Awal tahun 80-an adalah awal sebuah perubahan mendasar bagi Krueng Sabee. Pada masa ini beberapa perusahaan HPH beroperasi di daerah Hulu kawasan Krueng Sabee atau di dalam Daerah Aliran Sungai(DAS) Krueng Sabee. Bagaimana tidak, sebelum HPH masuk, Krueng Sabee dapat dilalui perahu bermotor atau jaloh tanpa khawatir akan sangkutnya propeller di pasir dasar sungai. Air sungai masih jernih dan dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Apa lacur, kayu-kayu besar yang mendiami hutan di sekitar DAS Krueng Sabee menjadi santapan empuk perusahaan HPH, padahal kayu-kayu ini sangat berperan menahan laju air pemukaan pada saat presipitasi atau hujan. Lazimnya hujan yang turun tentu mengakibatkan air limpasan permukaan setelah sampai di tanah. Air ini sebagian ter-infiltrasi ke dalam tanah untuk menjadi air tanah. Sebagian lagi menjadi air limpasan yang mengalir ke tempat yang tekanannya rendah. Di sinilah peranan hutan terutama pohon untuk melindungi tanah dari gerusan air hujan sehingga mengakibatkan sedimentasi di air permukaan seperti sungai. Pohon sebagai vegetasi dengan perakarannya dapat membuat porositas yang baik di permukaan tanah, akibatnya bila terjadi hujan atau prespitasi. air akan melaju ke dalam tanah melalaui proses infiltrasi. Laju infiltasi yang baik dapat memperkecil laju run off (limpasan permukaan). Kecilnya laju run off dapat memperkecil gerusan tanah yang akan menjadi sedimentasi oleh air.

Analisa tim dari WWF menyatakan Krueng Sabee berada dalam kawasan daerah aliran sungai hutan atau forested watershed, karena sebagian besar kawasan tersebut ditutupi oleh hutan. Jelas sekali, hutan di sekitar Krueng Sabee merupakan penyangga atau buffer zone bagi lingkungan atau kawasan di sekitar sungai. Tak dipungkiri setelah beberapa tahun beroperasinya perusahaan HPH dan HGU di hutan Aceh Jaya, khususnya di daerah hulu Das Krueng Sabee, fenomena alam berubah. Air sungai menjadi keruh, dasar sungai menjadi dangkal, dan air sungai terkontaminasi oleh limbah kayu. Menurut masyarakat, pemerintah tidak pernah meminta masukan dari mereka pada saat HPH masuk ke wilayah mereka. Karena sebelumnya, adat masyarakat di sekitar sungai sadar akan pentingnya hutan bagi mereka. Namun apa lacur, setelah HPH berjalan, masyarakat tetap saja mengkonsumsi air sungai untuk minum, mandi, dan lainnya. Efeknya masyarakat banyak mengalami penyakit kulit dan dari segi ekonomi masyarakat tidak mendapatkan keuntungan banyak pada saat perusahaan HPH beroperas. Era konflik, pada akhir tahun 90-an, membuat perusaahan HPH berhenti beroperasi. Begitu juga masyarakat banyak yang meninggalkan gampong halaman untuk menjadi pengungsi di daerah pesisir. Penambangan hutan otomatis berhenti namun sayang tak ada usaha reboisasi oleh pihak terkait untuk menutup (covered) daerah yang telah menjadi lahan lapang. Masyarakat kepada tim dari WWF menyatakan, setelah berhenti beroperasi keadaan alam Krueng Sabee membaik. Membaik di sini hanya dari sisi, hilangnya limbah pabrik (bubuk kayu) dari badan sungai. Namun sedimentasi tetap berjalan pada saat hujan turun, laju run off lebih besar dari pada infiltrasi, hasilnya dapat kita lihat sekarang, sungai menjadi dangkal dan banjir sering terjadi dalam setahun. Fenomena ini bertambah buruk akibat perubahan iklim (climate change) yang signifikan terjadi di dunia ini akibat global warming. Banjir tiada lagi datang pada saat bulan masehi yang berakhiran ”ber”. Namun di setiap hujan lebat turun, daerah di sekitar sungai pasti sangat rawan banjir. Menurut data hujan dan analisa tim WWF, daerah di sekitar Krueng Sabee memang daerah basah, selama 12 bulan masehi 83 persennya merupakan bulan basah.

Analisa di atas merupakan anasir yang menunjukan bahwa pengelolaan sungai (baca konservasi sungai) sangat bergantung pada keutuhan buffer zone yaitu hutan. Berilah kesempatan kepada masyarakat untuk mengelolanya. Apalagi Aceh sangat mengenal sebutan HUTAN ADAT dan ADAT HUTAN (meminjam istilah pakar hukum Aceh saudara Taqwaddin, SH, SE, MS, CD). Aceh mengenal Pawang Uteuen yang mengelola atau manajer dalam hal membuat dan melaksanakan ”undang-undang” uteuen mukim. Apalagi pada zaman Belanda, Krueng Sabee mempunyai Pawang Krueng yang bertugas memelihara sungai dari kerusakan dan kekotoran. Secara tak langsung, bila derah sekitar Krueng Sabee dapat dihijaukan dan dijaga maka Krueng Sabee dan anak-anak sungainya bisa menjadi sumber air bersih bagi sebagian besar masyarakat Kecamatan Krueng Sabee.

0 Response to "Sungai Krueng Sabee yang Kritis"