Antara Menjaga Air Dan Membuang Air

Sebenarnya saya sudah mempunyai tulisan ini di sini. Hanya saja, saya ingin menulis kembali agar essai ini bisa masuk ke semua orang. :).

Kalau orang menyebut kata Gayo, setidaknya orang akan dilintasi pikiran di benaknya, bahwa itu adalah salah satu suku yang ada di Sumatra, di propinsi Aceh. Walau ada juga kata-kata gayo di Jepang, Kimigayo, lagu kebangsaan negeri matahari terbit ini. Dan ada juga gayo di korea, ini berkaitan dengan industri hiburan :).

Nah, kalau lintasan pikiran itu belum berhenti, pasti akan menuju ke imaji bahwa Gayo itu berada di Aceh Tengah; Bener Meriah; Gayo Lues; dan juga di Aceh Timur. Dan, lagi, akan menuju ke sebuah ranting pikiran, akan terlintas akan sumber daya alam hayati yang kaya. Walau di belahan lain di propinsi Aceh juga tak kalah kaya akan sumber daya alam hayati.


Salah satu kelebihan daerah yang didiami suku Gayo adalah hutan yang masih asri. Masih bisa kita lihat bukit dan gunung yang dihidupi rapi akan kayu atau pepohonan yang besar. Kayu-kayu atau pepohonan ini dengan berbagai jenis dan berbagai ukuran menjelma menjelma menjadi sebuah kawasan yang disebut hutan. Walau tentu saja, di sana-sini hutan semakin hari semakin mulai menipis, tak terkecuali hutan yang berada di wilayah atau kabupaten di atas juga sudah semakin menyusut tutupannya.

Kaya akan hutan membuat daerah itu kaya akan air. Karena air hujan yang turun menuju bumi, diserap oleh pori-pori akar pepohonan pun kayu-kayu ayang ada di dalam hutan. Masuknya air ke dalam tanah akan menjadi air tanah. Air tanah ini lah yang akan menyuplai dan membantu pasokan air yang ada di permukaan seperti alur, sungai, dan danau.

Keberadaan air di daerah seperti di Aceh Tengah dan Bener Meriah sangatlah mudah kita tandai dan kita temui. Pertama, perbukitan dan pegununungan yang sejauh kita memandang masih mempunyai hutan sebagai “pintu” air hujan ke dalam tanah. Tanda lain, adanya kita lihat bentukan lembah-lembah di sekitar perbukitan di sekeliling kita. Secara topografi, lembah merupakan rumahnya air. Biasanya bila ada lembah, paling tidak ada alur kecil (rerak) yang mengaliri air ke sebuah tempat yang lebih rendah. Lembah-lembah ini juga terkadang sering menjadi kebun-kebun masyarakat di daerah Aceh Tengah dan Bener Meriah. Biasanya, mereka yang berada di Gayo, menyebut arol.

Tak hanya alur, di daerah ini juga sering kita jumpai sungai. Baik sungai kecil maupun yang besar. Dalam bahasa Gayo, sungai biasa disebut dengan Wih/Weh atau Wihni. Bila kita sering melihat peta topografi skala 1:50000 keluaran Jawatan Topografi atau Bakorstanal. Sungai-sungai di daerah Gayo, seperti: Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues, dinotasikan dengan Wh. Kalau di belahan pesisir sungai dinotasikan dengan Kr, yang singkatan dari Krueng. Bila di daerah agak Melayu, seperti di Tamiang, notasi yang menunjukkan sungai ditulis dengan Bt, singkatan dari Batang. Ya, lain daerah lain bahasanya. Bila sebuah nama disebut dengan nama lokal, artinya benda itu memang ada atau pernah ada di daerah tersebut.

Satu tanda alam lagi yang sering kita jumpai di daerah Gayo akan keberadaan air adalah adanya kulem atau kolam. Menyebut untuk danau atau telaga. Atau bila agak besar, merek a menyebutnya Lut/Lot Kucak (sebutan ini perlu dipelajari lagi).

Kesemua tanda alam di atas menandakan bahwa daerah ini mempunyai penyimpanan air yang lumayan cukup untuk dikonsumsi. Baik untuk minum, pertanian, dan bahkan industri. Keberadaan air ini juga menjadi sebagai indikator bagaimana suburnya tanaman bisa hidup di daerah ini. Tak hanya tanaman memang, hewan dan manusia pun sangat bersyukur bila berdiam di daerah ini.

Namun ada suatu hal yang terkadang membuat saya tergelitik melihat keadaan air di daerah ini. Saya sempat mengatakan kepada seorang teman. Orang Gayo sangat mantap menjalankan konservasi air hingga sampah dari tubuh manusia sangat sering terlihat di jamban umum yang sering berada di masjid atau menasah. Padahal air mengalir dengan sukarela, tak ada paksaan untuk menghambatnya. Bersebarangan dengan hal di atas. Orang Gayo juga suka membuang air dengan relanya, tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Ini terlihat di masjid atau menasah yang menggunakan sistem keran. Keran sering sekali saya lihat terbuka dan air sangat lancarnya mengucur jatuh ke bumi.

Hehe, saya sangat yakin fenomena yang kedua ini terjadi karena orang Gayo sangat mengenal tetajuren. Sebuah media atau mungkin bisa dikatakan sebuah sistem pengairan sederhana, yang digunakan masyarakat untuk berbasuh dan mandi. Biasanya memang tetajuren ini berada di area terbuka seperti di kebun atau sawah. Pun bila dekat dengan atau berada di sekitar permukiman, tetajuren ini biasanya dekat dengan air yang mengalir. Intinya, tetajuren ini tak mubazir karena memang aliran air ini alami, hanya saja perlu modifikasi agar air ini bisa terjun ke bawah agar bisa dimanfaatkan.

Namun untuk fenomena pertama, saya tak tahu apa latar belakang sehingga masyarakat sadar akan “konservasi” air. Sehingga bila kita igin ke kamar mandi dengan niat buang hajat, tanpa ada “kekuatan”, bisa saja, rasa sesak ingin buang hajat hilang begitu saja. :).

Sebagai orang Gayo, saya menulis disclaimer: ini hasil pengamatan saya di beberapa tempat di dua kabupaten, Aceh Tengah dan Bener Meriah. Khususnya di daerah perkampungan yang berada di pinggiran kota. Selain itu saya berani menulis ini karena saya juga membandingkannya dengan daerah lain di Aceh, khususnya daerah pesisir. Kalau di sana, saya kalau sedang dalam perjalanan dan tiba-tiba ingin ke kamar mandi pasti pilih masjid atau menasah. Minimal pasti ada air dan wc-nya lumayan. Tapi berbeda halnya dengan di sini. Sebagian besar masjid atau menasah yang saya datangi keadaanya membuat harus ekstra hati-hati menjalankan niat. :).

Percaya atau tidak, itulah realita yang sudah seperti menjadi tradisi. Tak ada orang yang menyangkal kalau kedua perlakuan di atas tidaklah elok. Konon, saat ini sudah banyak yang sadar bila air sudah sering sumbat. Air saat ini sering macet. Air saat ini sering terganggu distribusinya. Air saat ini tak sejernih dulu. Dan tentu saja, ada yang sadar, kuantitas dan kualitas air sekarang sudah jauh menurun dibandingkan puluhan tahun lalu.

Walau saat ini kita (masih) melimpah akan air. Tak salahnya lah menjaga air agar tetap bisa menjadi media penyambung sendi kehidupan kita seperti sekarang ini. Karena bila tak dijaga dengan baik, tentu jumlah dan mutu air di wilayah kita akan menjadi menurun. Menurunnya jumlah air efeknya sangat luas. Semua sendi kehidupan tak akan bisa menghindar dari ketersediaan air.

Pun dengan kebersihan. Sehat adalah tujuan dari hidup kita. Sehat lah yang membuat kita produktif. Sehat lah yang bisa membuat kita dapat bekerja dan produktif. Sehat lah yang bisa memajukan negeri. Apalagi kita orang Gayo, saat bertanya tentang kabar saudara kita, pasti kita akan bertanya, “ Kune, sehat keu Kam, woy?”. Tentu sehat ini tak lepas juga dari unsur air sebagai media pembersih.

Air harus dijaga. Bersih itu juga perlu. Apalagi kita sebagai orang Gayo yang Muslim sangat dianjurkan agar kita tidak berlebihan dan berlaku bersih.

0 Response to "Antara Menjaga Air Dan Membuang Air"